Rasa Apa
Lagi-lagi,
aku terjatuh.
Aku
membuka pelupuk mataku perlahan, mencoba untuk menyingsing sinar baru pada
otakku yang penat ini. Sekujur tubuhku kaku, tak berdaya. Isak tangis masih
terdengar dari bibirku, dan air mata tak sudi untuk berhenti mengalir melewati
pipiku. Rasanya aku ingin berteriak pada dunia, namun kutahu aku tak akan bisa.
Kurasakan sesaknya dada ini- seperti ribuan pisau menghujamku.
“Okay,
everything gonna be alright.” benakku dalam hati, membisu. Oh tentu kutahu, aku
tak akan bisa membohongi diriku sendiri. Pure honestly, nothing gonna be alright.
Jatuh
kali ini bukan seperti biasanya. Jatuh kali ini lebih sakit, dan jatuh kali ini
membuatku merasakan luka yang tak pernah kualami sebelumnya. Yang kali ini
lebih jahat- ia membiarkanku masuk dalam permainannya, dan dia membiarkanku
jatuh.
Teman,
sebenarnya aku tak tahu, apa yang menyebabkan aku terjatuh. Ada suatu rasa yang
membuatku terjatuh. Rasa yang membuatkan sejuta tanya dan bisu yang menyeringai
santai. Sungguh, aku benci kamu rasa. Rasa ini tiba-tiba datang menyelonong
masuk ke dalam pintu hatiku, kemudian pergi dengan sejuta luka di hati.
Sungguh, aku benci.
Kenapa
harus aku yang merasakan terjatuh untuk kesekian kalinya? Kenapa harus aku?
Kenapa bukan dia? Kenapa aku bertanya? Kenapa kau tak pernah menjawab?
Aku
benci rasa itu. Rasa yang membuat hatiku lemah. Rasa yang membuat jantungku
berdegup lebih cepat. Rasa yang membuat pelupuk mataku tergenang. Dan juga rasa
yang membuat otakku muak akan semua ini.
Rasa
itu sungguh keterlaluan, ia memperlakukanku sebagai boneka kecilnya- yang bisa
dipermainkan sesuka hatinya. Rasa ini juga membutakanku, seakan aku hanya
kelinci percobaan untuknya.
Rasa
itu sungguh sangat membuatku tersiksa, membuatku tertawa, lalu memaksaku untuk
diam. Rasa ini juga menerbangkanku, kemudian menjatuhkanku. Aku tersenyum untuk
rasa ini, tapi rasa ini memang tidak tahu diri- ia selalu membuatku tenggelam
dalam tangis. Dan rasa ini selalu membuatku berharap, tapi kutahu harapan itu
sia-sia.
Rasa
ini kejam. Ia mengajariku caranya menangis, tapi tidak mengajariku melupakan
caranya menangis. Ia juga mengajariku caranya meratap, dan teringat pada masa
lalu. Tapi dia tidak mengajariku, bagaimana melupakan caranya meratap, dan
teringat pada masa lalu. Sungguh keterlaluan.
Tapi,
aku tersadar.
Aku
harus berterimakasih pada rasa ini. Rasa ini telah mengajarkanku tersenyum di
dalam tangis. Rasa ini telah mengajarkanku tegar di dalam kesunyian hati. Dan
rasa ini juga, yang mengajarkanku tertawa di dalam keputusasaan.
Apa kau
tahu, rasa apa itu kawan?
Hanya
satu, rasa cinta. Rasa yang kutaruh kepada seseorang setelah begitu lamanya,
dan sekarang dia membalas cintaku untuk orang lain. Miris memang. Aku selalu
menghujami hatiku dengan sejuta ‘harusnya’.
Harusnya, kita tak perlu melanjutkan
perkenalan itu ke dalam hal yang lebih serius, agar tak ada perasaan terlarang
yang tumbuh.
Harusnya, aku tak perlu jatuh
cinta padamu; agar aku tak merasakan jatuh cinta sendirian.
Harusnya, aku yang berada di
sampingmu, menghapus air matamu, dan tertawa dibawah rembulan bersamamu, bukan
dia.
Harusnya, tak perlu ada kita.
Agar saat terjadi perpisahan, tak perlu ada lagi yang terhempas keras.
Bisakah
aku mencabut rasaku? Bisakah aku mengentikan aliran dari mataku ini? Bisakah
aku melupakan caranya teringat padamu? Bisakah aku berhenti memutar memori
tentangmu?
Aku
tidak sanggup. Aku tidak kuat. Aku tidak bisa. Dan aku tidak akan pernah bisa.
Masih dengan air mataku, aku
meraih secarik kertas.
R A S
A A P A
Tuhan, rasa
apa ini.
Rasa yang membuat
hatiku lemah
Rasa yang
membuat jantungku berdegup lebih cepat
Rasa yang
membuat pelupuk mataku tergenang
Rasa yang
membuat otakku muak akan semua ini
Rasa ini
mendalangiku
Seolah
akulah boneka kecilmu
Rasa ini
membutakanku
Seolah aku
hanyalah kelinci percobaanmu
Rasa ini
kadang membuatku tertawa, lalu terdiam.
Rasa ini
kadang membuatku terbang, lalu terjatuh.
Rasa ini
kadang membuatku tersenyum, lalu tenggelam dalam tangis.
Dan rasa
ini kadang membuatku berharap, tapi harapan itu sia-sia.
Rasa yang
tak pernah hilang,
Tolong
ajari aku.
Melupakan
caranya menangis
Melupakan
caranya meratap
Melupakan
caranya teringat pada masa lalu
Terima
kasih, rasa.
Rasa yang
mengajarkanku tersenyum di dalam tangis.
Rasa yang
mengajarkanku tegar di dalam kesunyian hati.
Rasa yang
mengajarkanku tertawa di dalam keputusasaan.
Terima
kasih, cinta.
Tangisku
semakin menjadi-jadi ketika aku menuliskan kata terakhir di dalam kertas
tersebut. Karena aku pernah mencintai, tapi disakiti. Karena aku pernah
memiliki, tapi aku kehilangan. Karena aku pernah tulus, tapi aku dibohongi. Dan
karena aku pernah berharap, tapi harapan itu sia-sia.
Masih
dalam genangan air mata di pipiku, aku mulai memasuki alam mimpi dibawah
hangatnya sinar rembulan, hanya sendiri. ♡